Assalamu'alaikum!
Hai semuanya! Ada yang kangen gak sama aku? (ngarep banget)
Nah sekarang aku coba-coba bikin fanfic Naruto dengan
pairing LeeTen. Inspirasinya dari temanku yang katanya dia Lee dan Tenten cocok, dan akhirnya nekat
publish fanfic gak jelas gini (apalagi
ending-nya!)
Yaudahlah ayo kita mulai!
~~~~~~~~~
Disclaimer :
Masashi Kishimoto-sensei, emangnya siapa lagi yang punya Naruto?
Second Love jelas punyaku.
Rate : T
Pairing : LeeTen
Character : Tenten, Rock Lee, Hyuuga Hinata,
Yamanaka Ino, Uzumaki Naruto dan Nara Shikamaru.
Genre : Romance (meski mungkin gak ngena)
Summary : Sebuah kisah dari Tenten dan Lee yang
sama-sama gagal dalam cinta pertama mereka masing-masing. Tenten gagal karena
sang pujaan, Neji meninggalkannya menghadap sang pencipta. Sementara Lee gagal
karena sang pujaan, Sakura meninggalkannya demi Sasuke. Bagaimana dengan cinta
kedua mereka?
Warning : OOC! Setting
dua tahun setelah perang dunia shinobi keempat! Typo bertebaran!
Enjoy~
Tenten POV
Aku tidak pernah menyangka, kau meninggalkanku
secepat itu.
Aku tahu. Aku tidak seharusnya menyalahkan takdir.
Kalau takdirmu memang meninggal karena menyelamatkan Naruto dan Hinata,
harusnya aku tidak sesedih ini. Walau secara tidak langsung, kau sudah
menyelamatkan dunia.
Tapi…
Yang membuatku sedih tentu saja bukan itu. Aku sedih
dan juga kecewa pada diriku sendiri. Kenapa… kenapa kau meninggalkanku secepat
itu tanpa mendengar bahwa aku…
Mencintaimu.
Aku ada di situ. Yah, tentu maksudku saat
detik-detik kematianmu. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat kau mengorbankan
dirimu agar Naruto dan Hinata tetap hidup.
Saat itu juga aku ingin menangis. Tapi aku
menahannya. Saat itu aku tidak punya waktu untuk menangis. Musuh–dan juga Juubi–ada di depan mata,
bersiap menyerang lagi.
Setelah perang usai pun, aku tetap saja
menyembunyikan perasanku. Aku berpura-pura senang, padahal aku masih saja sedih
memikirkanmu. Payah. Seorang kunoichi tidak
boleh terlihat lemah dalam kondisi apapun. Aku harus tetap semangat. Tapi…
Apa aku bisa semangat tanpamu, Neji?
***
‘Tok! Tok! Tok!’
“Tenten?”
Siapa ya? Aku kan sedang siap-siap untuk
‘mengunjungi’ Neji. Dengan malas aku membuka pintu apartemenku.
‘Kriettt!’
“Hinata?”
Ya benar. Itu Hinata, adik sepupu Neji. Sekarang dia
memakai gaun terusan berwarna hitam.
“Tenten, kau tidak ingat ini hari a… apa?” tanya
Hinata dengan gugup seperti biasa. Mendengar pertanyaan itu aku langsung
murung.
“Tentu aku ingat. Ini sudah dua tahun semenjak Neji
gugur di medan perang…”
Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, Hinata
tiba-tiba memelukku dan mulai menangis. “Sumimasen,
Tenten. Gara-gara aku… kau…”
“Sudah tidak apa-apa. Aku tidak menyalahkanmu
ataupun Naruto. Kau tidak perlu merasa bersalah.” kataku yang berusaha
menenangkan Hinata.
“T… Tapi…”
“Sudahlah Hinata,” kataku yang berusaha tersenyum,
meski itu sulit sekali. “itu sudah berlalu. Dua tahun lalu, kan? Lagipula…” aku
menyenggol rusuk Hinata dengan jahil. “…kau sudah jadian dengan Naruto, kan?”
Hinata melepas pelukannya dan bisa kulihat wajahnya
yang mulai memerah. Hah, senang juga aku bisa menjahili gadis lavender itu. “A… aku… aku… Tenten…”
Tawaku meledak saat melihat wajah Hinata yang
memerah juga mulai memelas. Wajahku agak serius kemudian. “Ayo. Neji sudah
menunggu kita.”
Hinata mengangguk. Kami pun berjalan menuju
pemakaman Konoha.
Saat di jalan, aku dan Hinata sama sekali tidak
memulai pembicaraan. Kami sibuk dalam pikiran masing-masing. Ah, aku agak risih
terus diam seperti ini.
Aku lega saat Hinata memulai pembicaraan lebih dulu.
“Tenten… a… aku rasa kita harus membeli bunga lili untuk Neji-niisan.”
Aku menanggapinya dengan senyum ceriaku. “Saran yang
bagus. Ayo.”
Hinata dan aku pun menuju toko bunga Yamanaka.
‘Klining! Klining!’
“Irasshaimase!”
sapa seorang gadis berambut pirang, also
known as, Ino. “Tenten, Hinata?”
“I… Ino? Kau tidak siap-siap?” tanya Hinata.
“Aku sedang siap-siap.” jelas Ino seraya memamerkan
gaun hitamnya. “Kalian juga, kan?”
“Tentu.” sahutku cepat. “Kau punya bunga lili kan?”
“Justru aku menyiapkan banyak buga lili hari ini.” jelas
Ino lagi. “Mau berapa tangkai?”
“Aku satu saja.” sahutku seraya tersenyum.
“Aku… aku tiga.” sahut Hinata, yang membuatku bahkan
Ino terkejut.
“Untuk siapa saja Hinata?” tanyaku penasaran.
Bukannya dia mengunjungi Neji saja? Atau dia mau memberikan tiga tangkai bunga
lili sekaligus pada Neji?
“Satu untuk Neji-niisan.
Lalu…” oh, wajah Hinata mulai memerah. “sisanya rahasia.”
“Huh dasar Hinata.” gerutu Ino yang kalihatan sangat
penasaran seraya berkacak pinggang. “Ah iya sedari tadi aku tidak melihat
Sakura-forehead. Kalian melihat dia?”
Aku dan Hinata saling pandang. “Kami tidak
melihatnya seka tadi.”
Ino menghela nafas. “Ya sudah deh. Ayo, ambil
bunganya, bayar, lalu kita pergi.”
***
Lee POV
Aku tidak pernah menyangka, kau mau kuajak jalan berdua
denganku.
Sebagai orang yang cinta masa muda, tentu saja aku
merasakan hal yang dirasakan apa yang dirasakan saat masa muda. Cinta pertama.
Huhu aku senang sekali! Selama bertahun-tahun
mencintai seorang gadis cantik bernama Sakura, akhirnya dia mau jalan berdua
denganku! Biasanya dia pasti meledekku, menatapku dengan malas, bahkan tidak
memperhatikanku. Sekarang dia mau jalan berdua denganku?! Benar-benar seperti dream come true! (Readers : sok
inggris!)
Huah, semangat masa mudaku benar-benar membara!!!!
“Heh Lee. Kau mau apa mengajakku ke tempat seperti
ini?”
Ah, suara itu benar-benar indah. Aku seperti
mendengar sesosok dewi bernyanyi di sampingku…
“Lee-shannaro!”
Hah? “A… Ada apa, Sakura?”
Huh payah sekali diriku! Mana semangat masa mudaku?
Kenapa aku jadi gugup begini? Payah, payah!
“Kenapa kau mengajakku ke tempat ini, sih?
Menyeramkan, tahu.”
Oh, oke. Kalian boleh mengatakan aku bodoh semau
kalian sekarang. Kenapa aku malah mengajak seorang gadis yang spesial,
se-spesial martabak(?) ke sebuah taman yang tepat bersebelahan dengan pemakaman
Konoha? Seorang gadis sekuat dia pun bisa takut, apalagi aku?
Hei, tunggu. Harusnya aku tidak boleh terlihat
lemah, apalagi takut di depan Sakura kan? Aku benar-benar bodoh! Aku harus
menampilkan semangat masa mudaku yang sangat membara!!!!
“Aku ingin mengatakan sesuatu, Sakura.”
Sakura menatapku dengan bingung. “Apa?”
“Kau…” ah, aku gugup sekali sih! Mana semangat masa
mudaku yang sangat membara?! “…kau…kau mau tidak jadi…kekasihku?”
Aku mengatakannya! Aku mengatakannya! Aku
mengatakannya! Aku mengatakannya! Aku menga… (Reader : *menyumpal mulut Lee
dengan kertas* kelamaan!)
Sakura awalnya memang terkejut sebagai reaksi dari
pengakuanku tadi, tapi tiba-tiba wajahnya berubah misterius. “Kalau kau memang
menyukaiku, kau harusnya tahu apa jawabanku.”
Hah? Jawaban macam apa itu? Dia malah memberikanku
sebuah teka-teki. Padahal saat aku belajar bagaimana menyatakan perasaanku pada
buku yang selalu dibaca Sai–yang
kuyakini dibacanya untuk menyatakan perasaannya pada Ino pada suatu hari nanti–, seorang gadis yang
mendapat sebuah pernyataan cinta pasti menjawab, bukan malah memberi teka-teki.
“Aku diterima?” tebakku dengan semangat masa muda
maksimal(?)
“Shannaro!!!”
“Huaaa!” teriakku seraya berusaha lari dari pukulan
Sakura, tapi sayang sekali. Sejauh-jauhnya aku berlari, tetap akan kena pukulan
Sakura juga (kok kayak peribahasa ya?)
“Kau ini, sama bodohnya dengan Naruto.” komentar
Sakura setelah puas memukulku. “Kau tentu tidak lupa, kan? Aku sangat mencintai
Sasuke-kun, sampai kapanpun. Aku
tidak bisa menerima orang lain selain Sasuke-kun.”
Aku? Berusaha menyembunyikan perasaanku. Masa iya
Rock Lee bakal menangis karena ditolak? Sampai Kaguya Otsutsuki dibangkitkan
lagi ke dunia sekalipun, aku tidak akan menangis hanya karena hal kecil begini.
Kalau dalam hati, mungkin.
Semangat masa mudamu mana Lee?! Kau tidak boleh
sedih, harus tetap semangat!! Hidup masa muda!! (jadi gak nyambung gini?)
“Sudah? Aku mau pergi dulu ya. Jaa.” pamit Sakura seraya meninggalkanku.
Oke Lee kau boleh menangis sekarang, rutukku dalam
hati.
Cinta pertamaku, gagal.
***
Tenten POV
Makam yang terawat, pikirku saat memandang sendu
makam orang yang kucintai semenjak tingkat genin.
“Makam ini terawat sekali, beda dengan makam lain.”
komentar Ino yang kelihatannya sependapat denganku. “Siapa yang merawat makam
Neji, Hinata?”
“Biasanya aku atau Hanabi. Tapi kadang-kadang
anggota klan Hyuuga lain juga ikut merawat makam ini.”
Pantas saja.
Kami pun meletakkan bunga lili yang kami bawa–masing-masing satu–di makam itu, lalu
berdoa.
“Ohayou,
Neji-niisan.” sapa Hinata yang
memulai pembicaraan. “Sumimasen kami
baru mengunjungimu sekarang.”
“Ya seperti itulah.” timpal Ino seraya cengengesan.
“Akhir-akhir ini banyak sekali misi. Padahal dunia sudah damai setelah perang,
tapi masih saja ada misi berbahaya.”
Aku tidak ikut menimpali. Aku sibuk memperhatikan
ukiran kanji yang bertuliskan nama
Neji di sana. Meski sudah dua tahun berlalu, aku tetap tak bisa melupakan cinta
pertamaku. Rasanya tetap saja sakit menyadari takdir ini. Takdir menyakitkan
yang harus kujalani.
“Ah, aku harus ke makam otou-san.” kata Ino setelah sekedar berbasa-basi pada Neji. “Aku
pamit ya, jaa.”
“Jaa.”
sahutku dan Hinata.
“Oh iya,” aku baru ingat sesuatu. “dua bunga lili
sisanya mau kau berikan pada siapa, Hinata?”
Belum sempat Hinata menjawab pertanyaanku, tiba-tiba
seorang pria yang memakai setelan serba hitam dan membawa dua tangkai bunga
lili menghampiri kami. “Hinata-hime, dattebayo!”
Oh, itu Naruto. Mau mengunjungi siapa dia di
pemakaman ini? Apa dia hanya kebetulan lewat dan hanya ingin bertemu Hinata?
Ah, tak mungkin juga. Setelannya saja sudah serba hitam begitu. Pasti dia ingin
‘mengunjugi’ seseorang kan? Tapi siapa?
“Tenten, a…aku harus ke
makam lain. Jaa.” pamit Hinata.
Hinata dan Naruto pun pergi ke dua makam yang bersebelahan.
Aku rasa aku tahu
mereka megunjungi siapa. Kalian juga bisa menebaknya, kan?
Aku berpaling dari
Hinata dan Narut, kemudian menatap lurus ke arah makam yang berada di depanku.
‘Tidak, tidak Tenten. Kau tidak boleh menangis di
sini. Di depan Neji. Neji pasti akan sedih kalau aku sampai menangis. Kau harus
kuat…’ batinku yang masih menatap makam Neji.
Kemudian entah kenapa, semua kenangan bersama Neji
berputar di otakku bagaikan sedang menonton sebuah video. Saat aku berlatih dengannya, saat dia menyelamatkanku dari
bahaya, dan di saat-saat lain yang semakin membuatku tidak bisa menahan diriku.
Emosiku tumpah. Aku tidak bisa menahan diri lagi.
Sumimasen
Neji,
aku menangis di depan makammu.
***
Lee POV
“Lee? Sedang apa kau di sini?” tanya sesosok nanas (*Lee
ditimpuk papan shogi*) ehm maksudnya
seorang pria berambut menyerupai nanas yang memakai setelan serba hitam.
“Shikamaru?
“Iya ini aku. Mendokusei.”
jelas Shikamaru yang membawa setangkai bunga lili. “Kenapa kau guling-gulingan
di taah begitu? Sudah gila kau Lee?”
“Huaa Shikamaru!!!!” teriakku seraya mulai menangis.
Oke aku tahu ini terlihat berlebihan, tapi ini benar-benar apa yang kurasakan
sekarang.”
“Apaan sih kau, mendokusei.
Kau ini aneh-aneh saja.” komentar Shikamaru dengan gaya malasnya seperti biasa.
“Lagipula, kau tidak mengunjungi makam Neji? Sekarang kan tepat dua tahun
kematian Neji…” Shikamaru memberi jeda sebentar. “…juga otou-sanku.”
Astaga! “Aku baru ingat. Kalau begitu ayo kita ke
sana, Shikamaru!”
“Kau yakin tidak mau ganti baju atau membeli bunga
lili?”
“Tidak perlu, aku sudah sangat terlambat. Ayo!”
Shikamaru memutar bola matanya malas. “Ck, mendokusei. Iya.”
Aku dan Shikamaru pun memasuki wilayah pemakaman
Konoha. Aku berpisah dengan Shikamaru karena dia ingin mengunjungi otou-sannya. Saat aku menghampiri makam
Neji, aku melihat seorang gadis menangis di depan makam Neji.
Tunggu, itu kan Tenten? Kenapa dia menangis begitu?
“Tenten!” panggilku dan Tenten menengok.
Normal POV
Tenten menengok mendengar panggilan Lee. Dia pun berusaha
menghapus air matanya dan tersenyum sebisa mungkin. “Ada apa, Lee?”
“Kau ini. Sok kuat sekali. Aku tadi lihat kau
menangis. Ada apa, Tenten? Mana semangat masa mudamu yang membara?!!”
Oh Lee. Saking semangatnya suaramu, teman-temanmu
yang sedang berdoa di makam lain pun serentak menengok ke arah kau dan Tenten.
Yang lain–Hinata,
Naruto, Ino dan Shikamaru–memperhatikan
kalian dengan bingung–tambahan
dari Shikamaru, “mendokusei”. Tenten langsung
mengisyaratkan kalau mereka baik-baik saja. Melihat isyarat itu, Hinata dan
yang lain kembali memperhatikan makam di depan mereka.
“Kau ini ya Lee. Bisa tidak, kau tidak berteriak
sekencang itu? Orang lain jadi terganggu, tahu.” kata Tenten yang berusaha
menahan malu.
“Gomen ne.
Lagipula, kenapa kau menangis begitu? Kalau Neji melihatmu menangis begitu,
Neji bisa sedih di alam sana!”
Tenten terkejut mendengarnya. Lee benar. Kalau dia
sedih begitu, Neji pasti juga sedih dan tidak tenang di alam sana. Tenten pun
tersenyum tipis. “Arigatou Lee. Aku
tidak menyangka kau bisa juga jadi bijak.”
“Tentu, aku tidak mau sahabatku sedih begitu.” Lee
memperhatikan makam Neji. “Neji! Gomen ne
aku baru bisa mengunjungimu, bahkan aku tidak ingat sekarang tanggal
berapa. Aku harap kau tidak marah padaku.” kata Lee seraya nyengir kuda.
Tenten yang terus memperhatikan Lee akhirnya
menyadari ada jejak air mata di pipi pria cinta masa muda itu. Tanpa pikir panjang
lagi, Tenten menghapus jejak air mata itu dengan jempolnya. Dan entah kenapa,
wajah Lee merona setelahnya (bayangkan sendiri deh. Author aja nyaris ngakak
ngebayanginnya).
“T… Tenten?”
“Aku juga tidak mau sahabatku sedih.” kata Tenten
setelah selesai menghapus jejak air mata di pipi Lee. “Kenapa kau sampai sedih
begitu? Kau gagal saat latihan, ya?”
Lee menggeleng. “Bukan itu. Sakura… dia menolakku.”
“Pasti karena dia masih mengejar Sasuke.” komentar
Tenten yang terdengar agak kesal. “Tenang saja, Lee. Cinta pertama memang
sering gagal…” Tenten memberi jeda sebentar. “…contohnya aku.”
Tenten pun menatap makam Neji lagi. “Seharusnya aku
bisa mengikhlaskannya dan mencari cinta kedua penggantinya. Tapi tetap saja aku
tidak bisa melupakannya.”
“Kau benar juga. Aku juga harusnya mencari cinta
kedua sebagai pengganti Sakura, tapi tetap saja susah.” kata Lee yang sedang
menatap taman tempat dia menyatakan perasaannnya pada Sakura tadi.
Beberapa detik kemudian, mereka saling pandang
dengan kaget, kemudian tertawa kecil.
“Ternyata kita senasib ya, Lee.” komentar Tenten.
“Sama-sama gagal di cinta pertama masing-masing.”
“Ya begitulah.” timpal Lee. “Bagaimana kalau kau
jadi cinta keduaku?”
Tenten yang mendengarnya langsung merona hebat. “A…
apa tadi kau bilang, Lee?”
“Ya seperti yang kau dengar,” sekarang Lee
ikut-ikutan merona. “aku selalu berpikir, kalau Sakura tidak menerimaku,
mungkin kau bisa menerimaku…” wajah Lee makin merona saja. “kau mau kan nanti
sore ke warung dango?”
Tenten tersenyum tipis. “Boleh saja.”
“Aku tunggu ya, Tenten!” kata Lee seraya
meninggalkan Tenten yang masih merona.
Tenten pun berpaling ke makam Neji dan tersenyum.
“Neji, kau lihat itu? Sekarang aku janji takkan menangis lagi, karena ada Lee
di sisiku. Kau tak perlu cemas lagi, oke?”
Dan itulah kisah dua insan manusia yang sama-sama
akan memulai cinta kedua, sekaligus terakhir mereka…
Owari!
~~~~~~
Huah akhirnya selesai juga! Maaf ya kalau ending-nya aneh dan OOC terutama Lee karena aku susah membawakan karakter penuh semangat kayak dia!
Sakura : Author! Kok peranku cuma sedikit di sini? Kejam-shannaro!
Author : Ya kan kau emang perannya sedikit secara kau ini peran sampingan. Peranmu baru banyak kalau pairing-nya SasuSaku!
Sakura : *blushing*
Hinata : A... Author? Bukannya ada omake?
Author : Oh iya ya! Ini dia omake-nya!
Omake
“Lho?” Tenten menengok kearah kiri dan kanan.
“Kemana Hinata, Ino, Naruto dan Shikamaru? Bukannya tadi mereka ada di sekitar
sini?”
Tenten tidak tahu, empat orang yang dia cari-cari
ada di balik semak-semak di belakang posisi Tenten berdiri.
“A… aku bersyukur Tenten akhirnya move on dari Neji-niisan.”
“Aku juga bersyukur si alis tebal bisa move on dari Sakura-chan, dattebayo.”
“Huaa Sakura-forehead
menolak Lee? Berarti tadi si forehead ada
di sini, dong. Dasar forehead,
dicariin ternyata jalan sama Lee!”
“Mendokusei.
Mau sampai kapan kita mengintai begini?”
Really owari!
~~~~~
Sampai ketemu lagi!
Akhir kata,
Wassalam.